Oleh: Ferry Hakim
Kota Kembang – Bandung, Minggu pagi 18 Desember 2011.
Ada suasana yang sedikit berbeda di sekitar gerbang Ganesha. Sejak pukul 6 pagi ratusan pesepeda seliweran dan berdatangan khas dengan berbagai gaya dan rupa. Corak ragam sepeda dengan berbagai warna dan kibaran umbul-umbul serta baliho yang berpadu dengan guguran keemasan daun-daun kering pohon damar dan akasia di sekitar gerbang Ganesha sekejap menghangatkan suasana pagi yang biasanya cukup menusuk tulang di bulan penghujung setahun masa. Ya, pagi itu hampir 140 orang pesepeda akan mengikuti sebuah konsep acara yang mungkin baru pertama kalinya di adakan di Indonesia. Acara bertajuk ‘Gowes Bareng Geolog’ yang merupakan salah satu dari sedikit rangkaian mata acara yang terbuka untuk masyarakat umum dalam perhelatan Reuni Akbar Teknik Geologi ITB 2011.
‘Gowes Bareng Geolog’ sejatinya adalah sebuah sinergi perjalanan bersepeda MTB yang dipadukan dengan field trip geologi. Selain mendapatkan tantangan dan kenikmatan bersepeda menjelajahi alam bebas, peserta juga akan mendapatkan tambahan ilmu kebumian, baik itu tentang bentang alam (geomorfologi), kegunung apian (volkanologi), geologi struktur, hingga sejarah dan antropologi budaya yang di presentasikan pada stasiun-stasiun geologi tertentu.
Mungkin karena konsep acara yang unik dan edukatif tersebut, sehingga animo dari alumni, komunitas sepeda dan masyarakat umum sangat tinggi dan peserta membludak melebihi ekspetasi. Bahkan panitia harus menolak banyak calon peserta yang baru mendaftar menjelang hari-H. Peserta tertua yang tercatat berumur 70 tahun dan peserta termuda adalah 16 tahun dengan tingkat kemampuan bersepeda dan pemahaman geologi yang juga beragam, sehingga tak pelak Panitia harus bekerja dan mempersiapkan semua kemungkinan dengan hati-hati. Akhirnya dengan diperkuat 15 orang marshall dan sweeper, 2 evac car, 1 ambulance + dokter dan paramedik, 1 support car 4WD dan 2 motocross, acara gowes pun mantap digelar.
Setelah registrasi dan pengecekan sepeda usai, tepat pukul 7:15 pagi, 9 buah pick up L 300 dan 12 buah minibus menderu meninggalkan kampus menuju starting point di Gunung Tangkuban Perahu. Perjalanan relatif singkat karena jalanan yang belum terlalu ramai pagi itu hingga akhirnya kami sampai pada elevasi 1900 mdpl tepat di bibir Kawah Ratu. Aroma khas belerang semilir terbawa angin pagi menyambut kami di sana. Kawah Ratu dibawah sana nampak demikian anggun secantik namanya di pagi itu. Kawah terbesar dari 13 kawah lain yang ada di komplek Gunung Tangkuban Perahu itu terlihat jelas sampai ke dasarnya. garis-grais lerengnya yang tegas bermuara pada sejejak asap volkanik yang menyembur perlahan dari dasarnya untuk kemudian perlahan-lahan tersamar dihembus angkasa raya. Udara yang sejuk dan langit biru yang terkadang menghilang tergantikan arsiran kabut tipis di atas sana benar-benar menjadi awal perjalanan yang sempurna.
Setelah kupasan materi geologi Mas Budi Brahmantyo dan briefing singkat teknik bersepeda, maka dengan diawali menyebut nama Sang Khalik dimulailah perjalanan hari itu. 138 pasang roda sepeda yang terbagi dalam 3 group berpita biru, perak dan ungu mulai bergerak menapaki trek menurun menuju stasiun geologi ke-2 di Gunung Putri. Kadar oksigen yang tipis cukup terasa saat menghirup udara. Untunglah pada etape ini hampir seluruh trek menurun, sehingga semua peserta bisa melewatinya dengan baik. Saat mulai masuk ke area hutan dengan jalan tanah, barulah petualangan yang sebenarnya dimulai. Jejak hujan semalam terlihat jelas meninggalkan kubangan-kubangan kecil berpadu dengan embun yang masih belum kering tersapu mentari pagi. Bau khas tanah basah dan humus tercium semerbak bagaikan aromaterapi alami yang selalu dinanti para petualang alam bebas sejati. Sebagian dari kami terkadang terjebak lumpur, sedikit terpeleset atau tergores onak duri. Namun bukan sakit dan sesal yang datang, justru canda tawa dan senyum dari sahabat menjadi obat penawar hati. Sekira sejam kemudian, kami berjibaku di dalam hutan sampai akhirnya seluruh rombongan sampai di Stasiun geologi Gunung Putri.
Dari titik ini, morfologi dataran Lembang, patahan Lembang dan Cekungan Bandung di kejauhan tampak jelas. Mantan danau purba itu, kini menjelma menjadi hamparan beragam warna. Hamparan itu terkepung beratus gunung dan bukit. Gunung Burangrang, Gunung Tangkubanparahu,Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari, Gunung Manglayang, Gunung Bukit Jarian, Gunung Geulis, Gunung Mandalawangi, Gunung Malabar,Gunung Patuha, Gunung Kendeng, Perbukitan Selacau, Gunung Lagadar, dan Gunung Bohong berderet melingkari hamparan tersebut. Gunung-gunung itu membuat Bandung berada dalam cekungan, tak ubahnya seperti sebuah mangkuk raksasa, dan di dasar mangkuk itulah Kota Bandung bertumbuh.
Usai memberikan materi geologi, panitia mengadakan kuis tanya jawab. Seluruh peserta sangat antusias menjawab pertanyaan, sehingga dalam waktu singkat sebuah buku tentang Cekungan Bandung karangan Mas Budi sendiri dan sebentuk batu mulia dari Mang Okim pun berpindah tangan kepada peserta yang tampak sumringah puas mendapatkan hadiahnya. Perjalanan pun dilanjutkan menuju etape berikutnya di stasiun geologi ke-3 di Gunung Batu, Lembang.
Pada etape inilah para peserta diuji kesabaran dan emosinya karena ini adalah etape dengan satu-satunya rute tanjakan yang ada layaknya etape Alps dalam Tour de France ataupun etape Piedmonte dalam Giro d’ Italia. Tanjakan dimulai dari dasar lembah sungai desa Sukamaju dengan kemiringan melandai hingga sedikit-demi sedikit bertambah terjal hingga puncaknya mendekati kaki Gunung Batu sejauh hampir 2 km non stop. Banyak peserta yang kuat mengayuh diatas pedal hingga puncak tanjakan, namun banyak pula yang terpaksa turun dan menuntun sepedanya untuk selanjutnya melangkah semeter-demi semeter menapaki tiap jengkal tanjakan tersebut. Nafas kian tersengal dan dengkul mulai bergetar, namun seorang rekan menolak dengan halus pada saat kami tanya apakah perlu bantuan. Beliau bahkan sempat berbisik pada saya, “Asalkan dengan kawan,…apapun terasa nyaman”.
Di Gunung Batu di lakukan rehat besar dan pembagian jatah buah-buahan. Duduk menghampar di rerumputan sambil memandang bongkah andesit Gn. Batu yang menjulang serta menikmati manisnya jeruk dan pisang seraya mendengarkan materi ilmu pengetahuan sungguh sebuah kelas terbaik yang bisa kita dapatkan dalam memahami setiap mili ciptaan Illahi.
Seusai pit stop Gunung Batu stasiun geologi terakhir yang kami tuju adalah di Lembah S. Cikapundung Maribaya. Rupanya setelah cukup istirahat dan mendapatkan pasokan energi, para peserta menjadi sedikit kesetanan dalam memacu jalur turunan batu andesit dan paving block, sehingga stasiun geologi berikutnya harus digeser menjadi di depan pintu masuk Goa Belanda. Goa yang menurut Mas Budi lebih tepat disebut terowongan tersebut pun menjadi saksi diabadikannya seluruh peserta dalam sesi group photo disana.
Etape terakhir dari Goa Belanda, Dago Pakar menuju kembali ke kampus ITB menjadi penutup menu bersepeda kami hari itu. Meliuk-liuk di tengah kemacetan Pasar Simpang Dago dan deretan factory outlet yang akut terjadi setiap akhir pekan di Bandung pun mengantar kami semua kembali menjejak gerbang Ganesha 10 pukul 13:30 siang.
Acara pun ditutup dengan makan siang, ramah tamah, pembagian door prize dan pemberian sertifikat kepada seluruh peserta yang telah berhasil melewati 25 km trek dari kawah Tangkuban Perahu ke Kampus ITB. Badan yang lelah namun sumringah membias pada wajah-wajah peserta yang nikmat melahap nasi timbel dan lalap.
Saya pribadi patut berbangga karena untuk kali pertama dalam karir bersepeda ditemani oleh doktor-doktor pakar ilmu kebumian ITB di bidangnya masing-masing. Selain Mas Budi Brahmantyo yang ahlinya geologi terapan, ada juga Mas Mino jawaranya geologi struktur, Mas Khoiril ahlinya dunia per-keongan paleontologi, dan Mas Nuki pakarnya sedimentologi. Dengan peserta sekaligus narasumber sekaliber mereka, sehingga tak berlebihan kalau acara gowes kemarin layak juga masuk MURI sebagai Trip Sepeda Paling Edukatif di Indonesia. Hebatnya lagi semua pakar-pakar di bisa lulus uji sampai finish melahap jalur tersebut. Salut.
Selamat dan terima kasih untuk semua Panitia, alumni, para sponsor dan Gea yang sudah membantu terlaksananya acara tersebut. ‘Gowes Bareng Geolog’, sebuah trip luar biasa bersama kawan-kawan yang tak kalah luar biasanya….
Geologi bagi Negeri…Berkarya untuk Bangsa. Sampai jumpa di trip berikutnya
1..2..3….Gea !!
Salam
FH – Trip Leader Gowes Bareng Geolog 2011